Menteri LH RI: Kalimantan Harus Jadi Pusat Ekosistem Global, Bukan Sekadar Pemasok Sumber Daya

BANJARMASIN (eMKa) – Menteri Lingkungan Hidup RI, Hanif Faisol Nurofiq, menyoroti pentingnya peran Kalimantan dalam menjaga keseimbangan iklim global. Ia menegaskan, wilayah ini tak seharusnya terus diposisikan hanya sebagai pemasok sumber daya, melainkan sebagai pusat pengelolaan ekosistem dunia.

“Kalimantan memiliki gambut dan mangrove yang sangat luas, dan ini adalah potensi ekosistem kritikal yang harus kita jaga. Konservasi dengan memanfaatkan keunggulan komparatif yang kita miliki menjadi sangat penting,” kata Hanif dalam The 2nd KUUB Postgraduate Research Colloquium yang dirangkaikan dengan The 6th International Conference on Chemical Engineering & Applied Sciences (ICCHEAS 2025) di Banjarmasin, Kamis (16/10/2025).

Hanif menyebut, gagasan menjadikan Borneo sebagai pusat ekosistem global sebenarnya sudah lama diinisiasi oleh akademisi dari Indonesia dan Malaysia. Namun, menurutnya, langkah konkret masih perlu diperkuat dari perguruan tinggi di Kalimantan melalui riset, konservasi, dan inovasi berbasis sains.

Ia menilai, gambut dan mangrove Kalimantan memiliki fungsi penting sebagai penyerap karbon alami yang berkontribusi besar pada mitigasi perubahan iklim dunia. Namun, ancaman deforestasi dan ekspansi industri ekstraktif berisiko merusak keseimbangan itu.

“Tanpa Indonesia mempertahankan alamnya, dunia bisa kolaps. Maka mari kita mulai pembangunan dengan investasi yang menjaga keberlanjutan, bukan dengan eksploitasi,” tegas Hanif.

Sebagai alumnus Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Hanif menyampaikan apresiasi terhadap kampus tersebut yang telah menyelenggarakan konferensi internasional bertema chemistry, applied science, biodiversity, carbon sequestration, and sustainability. Menurutnya, topik itu sangat relevan dengan arah pembangunan Kalimantan yang berorientasi pada nilai tambah ekologis.

Ia juga menyoroti praktik negara maju yang menjaga lingkungannya sendiri tetapi mengekspor kerusakan ke negara lain, termasuk melalui ekspor limbah elektronik, padahal Konvensi Basel telah melarang hal tersebut.

“Kita sering menerima electronic waste dari luar negeri. Membangun tidak harus dimulai dari merusak, tetapi dengan memperbaiki dan berinvestasi jangka panjang,” ujarnya.

Hanif menegaskan, Indonesia memiliki kekuatan besar untuk menjadi pemimpin dalam kolaborasi global mitigasi iklim, termasuk dalam mekanisme carbon pricing dan biodiversity credit.

“Kita hanya memanage bumi ini, bukan mengeksploitasinya. Apa yang kita jaga hari ini akan menentukan kehidupan anak cucu kita ratusan tahun ke depan,” tutupnya. (dmo/jrx)


Mungkin Anda Menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *